KLIPING
KASUS
KEWARGANEGARAAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas PPKN
Guru Pembimbing : Wiwik Adiana S.Pd.
Disusun Oleh
:
Nama : Nur Afifatul M
Kelas : X AP 1
No. Absen : 22
SMK
AL-HUSAIN KELING
TAHUN
PELAJARAN
2015/2016
CONTOH KASUS
STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK DALAM PERKAWINAN CAMPURAN
Kemerdekaan
kini punya makna baru bagi anak-anak hasil perkawinan campur. Bukan
hanya
merdeka sebagai warga negara, tapi mereka juga bebas untuk berdekatan dengan
sang
bunda, tanpa
perlu secarik kertas sebagai bukti legalitasnya.
Tanggal 11
Juli lalu mungkin merupakan moment yang sangat penting bagi wanita Indonesia
yang menikah
dengan pria asing, dengan disahkannya UU Kewarganegaraan yang baru oleh
DPR,
menggantikan UU Kewarganegaraan no. 62 tahun 1958. Para wanita Indonesia pelaku
pernikahan
campur, yang saat itu berada di Gedung DPR untuk menyaksikan pengesahan itu pun
langsung
menyambutnya dengan gegap gempita.
Bagaimana
tidak? Setelah lebih dari 47 tahun wanita pelaku pernikahan campuran
bersama
anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan itu terikat dalam berbagai peraturan
yang
ironis, kini
akhirnya mereka bisa bernafas lega. Mereka tidak lagi dianggap sebagai kaum
minoritas
yang selalu ’tertindas’ dan tidak punya kekuatan hukum di negeri sendiri. Beban
dan
tekanan
psikologis, yang harus mereka tanggung bertahun-tahun dan telah menelan banyak
korban, pun
kini sedikit bisa terangkat.
Seperti yang
diketahui, bahwa dibawah UU Kewarganegaraan yang lama, para wanita
pelaku
perkawinan campuran, dan anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan itu,
memiliki
banyak
keterbatasan dan kelemahan posisi dari segi hukum, baik dari bidang hukum,
sosial,
budaya dan
ekonomi. Hal ini jelas saja merupakan permasalahan tersendiri, dimana kebebasan
seseorang
untuk memiliki hak untuk mementukan piluhan kewargaganegaraan menjadi terkotak-
kotak
lantaran pembatasan dari peraturan perundang-undangan tersebut.
Rumitnya
Birokrasi Keimigrasian
Menumpuknya
permasalahan kaum wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing
akhirnya
mencetus berdirinya wadah Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu (KPC
Melati).
Diprakarsai oleh Ika Twigley, Diah Kusdinar, Marcellina Tanuhandaru, Mery
Girsang
dan Enggi
Holt.
Masalah yang
begitu pelik mulai dari kewarganegaraan anak, hak asuh anak, rumitnya
birokrasi
keimigrasian, soal administrasi kependudukan, keharusan berurusan dengan
kedutaan
asing,
perihal peraturan Depnaker, ketiadaan perjanjian pranikah, terbatasnya akses
terhadap
fasilitas
keuangan, hukum pewarisan terhadap properti, hingga kekerasan dalam rumah
tangga.
Karena
banyak petugas yang tak paham, itu tak heran, saat ada wanita yang menghadapi
masalah
sering pergi
minta bantuan ke sana ke mari tanpa mendapatkan jalan keluar yang memuaskan.
Sebenarnya
akar permasalahan perkawinan campuran di Indonesia ada pada UU
Kewarganegaraan
No 62 tahun 1958. Undang-undang itu menggariskan bahwa Indonesia
menganut
asas ius sanguinis patriarkal. Artinya, anak yang lahir dari perkawinan ibu WNI
dan
ayah WNA
otomatis mengikuti kewarganegaraan sang ayah. Sementara itu, status
kewarganegaraan
anak WNA untuk menjadi WNI hanya bisa setelah si anak berusia 18 tahun.
Sehingga
jika setiap tahunnya keluarga kawin campuran itu menetap di Indonesia, bahkan
anak-
anak hasil perkawinan tersebut tiap
tahunnya harus memperpanjang KITAS (Kartu Ijin Tinggal Sementara, red) dan
berurusan dengan pihak imigrasi. Jika tidak akan terkena sanksi overstay,
status
penduduk gelap, dan akan kena deportasi.
Malah untuk
mengurus KITAS-pun tidak ada biaya yang transparan sehingga tak jarang menjadi
‘akal-akalan’
oknum Imigrasi. Selain itu wanita WNI tak bisa mensponsori izin tinggal suami
WNA dan anak
WNA-nya yang sudah berusia dewasa.
Peliknya
permasalahan yang menyangkut tentang kepastian kewarganegaraan ini juga dialaku
ole
Auk Murat,
seorang mantan model yang juga salah satu wanita Indonesia pelaku perkawinan
campuran
dengan seorang pria Australia. Dikatakannya UU kewarganegaraan lama memiliki
beberapa kelemahan
yang efeknya sangat memberatkan para wanita pelaku perkawinan campuran
bersama
anak-anaknya.
Menurutnya
wanita Indonesia tidak memiliki persamaan hukum dengan wanita Indonesia lain
yang menikah
dengan sesama WNI, hak asasi mereka untuk bisa memberikan kewarganegaraan
mereka
kepada anaknya tidak bisa dilakukan, adanya penyelewengan terhadap hak asasi
sang
anak yang
tidak sesuai dengan sandaran hukum yang sesuai UU lama. Selain itu, wanita
Indonesia
juga akan kehilangan kewarganegaraannya jika menikah dengan pria dari negara-
negara yang
mewajibkan kewarganegaraan yang sama, seperti Bhutan, Taiwan, Iran dan
Zimbabwe.
Kelemahan-kelemahan
ini mengakibatkan banyak sekali kerugian yang harus ditanggung para
wanita itu
bersama anak-anaknya. Bila dari strata ekonominya kurang baik, maka mereka akan
mengalami
banyak kesulitan dalam hal kepengurusan sang anak, seperti ijin tinggal,
pembiayaan
sekolah, dan
lain-lainnya.
Jika mereka
tidak paham hukum dan pernikahan itu terputus di tengah jalan, maka bisa saja
mantan
suaminya memanfaatkan hal ini untuk mengambil hak asuh anak-anaknya (karena
sang
anak sejak
lahir secara otomatis sudah mengikuti kewarganegaraan ayah/asas patriakal).
”Ironis
sekali khan
kalau seorang ibu ingin berdekatan dengan anaknya saja harus dilegalkan oleh
secarik
kertas.
Banyak kan! kita dengar kisah para wanita korban dari peraturan ini,” ujar
mantan model
bernama asli
Sasanti Paramita ini.
”Itu belum
termasuk berbagai beban dan tekanan psikologis yang harus mereka hadapi setiap
harinya,
mengingat beberapa pria asing banyak yang berusaha mengambil keuntungan
sebesar-
besarnya
dari perkawinannya dengan wanita Indonesia. Bukan berarti semua pria asing
begitu,
tapi kalau
negara tidak bisa memberikan kekuatan hukum kepada wanita pelaku perkawinan
campuran
seperti itu, maka para wanita ini akan selalu jadi korban yang tertindas, yang
ironisnya
padahal
mereka tinggal di negara sendiri. Bagaimana kalau tinggal di negara suaminya?
Mereka
akan dianggap
imigran gelap karena status kewarganegaraannya tidak jelas. Untuk
mendapatkan
Permanen Resident itu tidak mudah lho, paling tidak kita harus menunggu selama
bertahun-tahun.
Dan selama itu, kita rentan terhadap berbagai pelecehan dan perlakuan yang
dianggap
melanggar hukum negara setempat. Contoh kasus dan korbannya juga sudah banyak,”
tandas
wanita kelahiran 26 Juni 1970 ini.
Sulit Jadi
WNI
Menyinggung
tentang kemerdekaan hak asuh anak juga diutarakan oleh Etta Herawati atau biasa
dikenal
dengan Bertha. Ibu dari Jasmine McCarthy ini juga ikut curhat lantaran mulai
dari proses
pernikahan
dengan Michael McCarthy JR (38) pada tanggal 29 Agustus 2001 silam permasalahan
tentang kewarganegaraan selalu saja muncul. ”Saya ingat waktu mau menikah 5
tahun lalu, kami
harus
mengurusi beberapa surat yang menurut saya tidak terlalu sulit untuk diurus.
Belum lagi
dengan sikap
dari pejabat pemerintahan yang berwenang yang dengan sengaja menyulitkan kami
untuk
mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan,” ujar guru vokal dari banyak
selebritis ini.
Pengalaman
yang tidak mengenakkan ini jelas saja mengganggu pribadinya, meskipun untuk
memutuskan
menikah dengan pria asing sudah ia pikirkan sebelumnya segala sebab dan akibat
yang akan
muncul. Bahkan setelah Jasmine lahir pada tanggal 23 Mei 2003 langsung
dibuatkan
akte, tapi
nyatanya ia harus melaporkan juga ke imigrasi lantaran salah satu orang tuanya
berbeda
kebangsaan
karena selama 8 bulan sejak kelahirannya Berta dan Michael belum melaporkan ke
Imigrasi.
”Pada saat itu salah satu pegawai Imigrasi bilang karena keterlambatan selama 8
bulan
saya
dikenakan denda sebesar 85 Dollar. Tapi pegawai lainnya ada yang bilang hanya
membayar
75 sampai
100 Dollar sampai surat perijinan selesai. Dengan begitu saya berpikir berapa
yang
musti saya
bayar untuk menebus keterlambatan pengurusan ini. Tapi akhirnya saya hanya
membayar 30
juta pada pihak Imigrasi. Ternyata susah juga ya jadi WNI,” papar Bertha.
Setelah
mendapatkan KITAS dari Imigrasi, akhirnya anak semata wayangnya ini tidak dapat
bernapas
lega, lantaran surat penting kewarganegaraan sementara sudah di tangan. Hanya
saja
setiap
tahunnya Bertha harus melaporkan dan memperpanjang KITAS selama setahun
kedepan.
Karena itu,
sejak tahun 2000, sekelompok wanita pelaku perkawinan campuran yang tergabung
dalam KPC
Melati, sudah mulai memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara
Indonesia.
Ketika 1 Februari lalu Panitia Khusus (pansus) Rancangan UU Kewarganegaraan RI
dan Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia secara bulat telah menyetujui prinsip
kewarganegaraan
ganda terbatas bagi anak-anak hasil perkawinan campuran yang sah dan resmi,
mereka
semakin giat memperjuangkan hak anak-anak bangsa. Dan akhirnya, perjuangan
panjang
mereka pun
sudah membuahkan hasil yang cukup manis. RUU itu akhirnya disetujui menjadi UU
Kewarganegaraan
yang baru.
Mendapat
Angin Segar
”Di bawah UU
yang baru, anak-anak hasil perkawinan campur memiliki dua kewarganegaraan
sampai
mereka berusia 18 tahun plus 3 tahun. Bagitu juga dengan para ibunya, yang
boleh
memilih
kewarganegaraan yang diainginkannya, kecuali untuk empat negara seperti Bhutan,
Taiwan, Iran
dan Zimbabwe. Kecuali Bhutan yang memang mutlak, ketiga negara itu
memberikan
kesempatan selama tiga tahun bagi para wanita yang menikah dengan pria warga
negaranya
untuk mengikuti suaminya. Jadi, sekarang anak-anak bisa bersama ibunya tanpa
harus
mengurus
berbagai surat perijinan, dan sang ibu sudah punya kekuatan hukum untuk
melindungi
anak-anak
mereka. Diharapkan dengan adanya UU yang baru ini, bisa diminimalisir deh,
korban-
korbannya,”
harap ibu dua putri, Nicola Ananda dan Tatiana Ananda, ini.
Auk sendiri
mengaku bahwa sebenarnya mereka tidak mengalami banyak kesulitan selama ini
dalam hal
anak dan status dirinya sebagai warga negara karena sejak awal menikah dengan
pria
asing, ia
sudah mengetahui hukum dan hak-haknya sebagai wanita Indonesia. Sebagai langkah
antisipasi
terhadap berbagai masalah yang mungkin saja timbul dalam perkawinannya kelak,
ia
dan mantan
suaminya juga membuat perjanjian pra-nikah (prenuptial agreement).
”Saat itu
saya sih merasa sepertinya kurang romantis atau terkesan materialistis. Tapi,
mau tidak
mau hal itu harus dilakukan, untuk
menghindari masalah yang berhubungan dengan hal yang sensitif seperti uang dan
masalah kepemilikan properti. Dan ternyata, hal itu terbukti. Meskipun
sudah
bercerai tapi saya tidak mengalami kesulitan karena sejak awal semuanya sudah
ada
aturannya,”
ujarnya panjang lebar. ”Tapi sebagai rasa solidaritas saya terhadap teman-teman
yang
juga seperti
saya, maka saya ikut berjuang keras meng-gol-kan UU Kewarganegaraan yang baru.
Saya yakin,
apa yang bermanfaat bagi saya, pasti juga akan bermanfaat bagi orang lain.
Semoga
saja,” harapnya
santai.
Kini setelah
disyahkannya UU Kewarganegaraan yang baru ini baik Auk maupun Bertha atau
wanita yang
melakukan pernikahan campuran dimanapun di Indonesia ini bisa bernafas lega,
karena untuk
kewarganegaraan setiap anak tidak perlu lagi mengurus ke instansi pemerintah
seperti
Imigrasi maupun instansi lainnya. Arti kata, dengan terbitnya surat keputusan
ini maka
kehidupan
anak hasil pernikahan campuran antara WNI dengan negara asing menjadi lebih
terjamin
statusnya hingga umur 18 tahun plus masa pemilihan keyakinan kewarganegaraan
selama 3
tahun ke depan. ”Seperti mendapat angin segar dengan di syahkannya UU
Kewarganegaraan
yang baru ini,” ujar Bertha
KLIPING
KASUS
KEWARGANEGARAAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas PPKN
Guru Pembimbing : Wiwik Adiana S.Pd.
Disusun Oleh
:
Nama : Siti Aisyah
Kelas : X AP 2
No. Absen : 31
SMK
AL-HUSAIN KELING
TAHUN
PELAJARAN
2015/2016
CONTOH KASUS STATUS KEWARGANEGARAAN
SEORANG ANAK
KASUS POSISI
NY. SURTIATI Wu Warga Negara Indonesia melakukan perkawinan campuran dengan Dr. CHARLIE WU alias WU CHIA HSIN yang telah dicatatkan di Kantor Pencatatan Sipil Jakarta. Perkawinan tersebut telah dikaruniai dua orang anak yang lahir di Jakarta dan berkewarganegaraan Amerika Serikat yang bernama Alice dan Denise. Sejak awal perkawinan ternyata hubungan keduanya sudah tidak harmonis. Ketidakharmonisan tersebut akhirnya berbuntut pada gugatan cerai yang diajukan Dr. Charlie Wu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam Gugatannya Dr. Charlie Wu memohon agar hak asuh atas kedua anaknya diberikan kepadanya. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan tersebut yang kemudian ditegaskan lewat keputusan banding. Ny. Surtiati Wu yang merasa tidak puas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun permohonan kasasinya ditolak.
ANALISA
Mengingat tahun kelahiran kedua anak tersebut adalah 1986 dan 1987, maka peraturan yang mengatur adalah undang-undang No. 62 tahun 1968. Dalam Pasal 1b tersebut menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayah seorang WNI dengan pengertian hubungan kekeluargaan itu diadakan sebelum orang itu berusia 18 tahun dan belum menikah di bawah usia 18 tahun. Dengan ketentuan pasal ini, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut secara ketat asas “ius sanguinis”. Oleh sebab itu, seperti dalam kasus ini dimana terjadi perkawinan campuran antara perempuan WNI (Ny Surtiati) dengan laki-laki WNA (Dr. Charlie Wu), maka anak yang dilahirkan akan mengikuti kewarganegaraan si ayah dimanapun ia dilahirkan. Mengenai ketentuan ini terdapat pengecualian yakni apabila negara si ayah tidak memberikan kewarganegaraan bagi si anak yang dilahirkan sehingga si anak akan berstatus “stateless” atau tanpa kewarganegaraan.
Dalam kasus ini, Dr. Charlie Wu merupakan warga negara Amerika yang menganut asas kewarganegaraan “ius soli”, dimana seseorang mendapat kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahirannya. Kedua anak yang merupakan hasil perkawinan campuran antara Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati dilahirkan di Indonesia, tepatnya Jakarta. Dengan demikian, terjadi pertemuan antara dua asas kewarganegaraan yang berbeda.
Berdasarkan pasal 1 b UU No. 62 tahun 1958, kedua anak tersebut mengikuti kewarganegaraan ayah mereka, yakni Amerika. Namun, berdasarkan asas “ius soli” yang dianut oleh Amerika Serikat, kewarganegaraan kedua anak tersebut mengikuti tempat kelahiran mereka, yaitu Indonesia. Hal ini mengakibatkan kedua anak tersebut menjadi “stateless”. Akan tetapi, UU no.62 tahun 1958 menganut asas anti “apatride” dimana terjadi seseorang tidak memiliki kewarganegaraan. Oleh sebab itu, dalam kasus seperti ini, kedua anak itu dapat menjadi WNI jika sang ibu mengajukan permohonan ke pengadilan.
Dalam kasus ini, kedua anak tersebut menjadi warga negara Amerika. Hal ini dimungkinkan dengan pengakuan Dr. Charlie Wu bahwa kedua anak tersebut adalah kedua anaknya sehingga harus mengikuti kewarganegaraannya yakni Amerika. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 17 UU No. 62 tahun 1958 dapat disimpulkan bahwa seorang anak yang diakui oleh orang asing sebagai anaknya dan memperoleh paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing, maka ia memperoleh kewarganegaraan dari negara tersebut. Karena Dr. Charlie Wu mengajukan permohonan paspor kepada Kedutaan Besar Amerika Serikat. Dengan keluarnya paspor Amerika atas nama Alice dan Dennis Aulia, maka ketentuan pasal 17 tersebut berlaku. Kedua anak itu mendapat pengakuan dari Dr. Charlie Wu yang seorang WNA sebagai anaknya.
Sedangkan mengenai putusan perceraian itu sendiri, mengingat uraian-uraian mengenai sikap dan tingkah laku dari Ny. Surtiati Wu yang buruk, seperti kasar, keras kepala, mau menang sendiri, dan suka berbohong yang akhirnya menyebabkan timbulnya perselisihan dan percekcokan di dalam rumah tangga. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan dari dilangsungkannya lembaga perkawinan yang tertera dalam undang-undang tentang perkawinan, yaitu perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga adalah hal yang wajar apabila Mahkamah Agung mengabulkan gugatan perceraian yang diajukan oleh Dr. Charlie Wu, yaitu menyatakan ikatan perkawinan antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu putus karena perceraian.
Hal ini juga didukung oleh pernyataan yang dikeluarkan oleh kedua anak dari Penggugat dan Tergugat bahwa mereka setuju apabila kedua orangtua mereka bercerai karena jika perkawinan tersebut dilanjutkan, hanya akan menambah penderitaan batin mereka saja dan lagi mereka tidak keberatan apabila ditaruh di bawah perwalian dari Penggugat (Dr. Charlie Wu).
Apabila menilik dari uraian yang diajukan oleh kuasa hukum dari Penggugat bahwa :
1. Ny. Surtiati Wu telah bersikap dan bertingkah laku buruk sehingga menimbulkan banyak percekcokan dan perselisihan dalam rumah tangga.
2. Percekcokan dan perselisihan tersebut menimbulkan pernderitaan batin bagi kedua anak mereka, yaitu Alice dan Denise Aulia.
3. Kedua anak mereka mendukung perceraian antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu.
4. Kedua anak mereka tidak keberatan untuk ditaruh di bawah perwalian Dr. Charlie Wu.
5. Dr. Charlie Wu sudah menyatakan kesanggupannya untuk terus merawat dan mendidik Alice dan Denise Aulia, menjaga perkembangan kehidupan jasmani dan rohani mereka serta menanggung biaya pendidikan mereka sampai perguruan tinggi.
Maka, putusan Mahkamah Agung untuk menyatakan putusnya perkawinan antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu serta menyerahkan perwalian kedua anak mereka yang berkewarganegaraan Amerika adalah tepat.
Jika dianalisis terhadap perkawinan campur dari Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati Wu, maka pada bagian latar belakang permasalahan bentuk perkawinan ini terdapat kontradiksi yang kuat antara doktrin ketertiban umum dengan doktrin hak-hak yang diperoleh. Dr Charlie Wu menikah dengan Ny. Surtiati di Kansas, Amerika Serikat termasuk perkawinan yang sama sekali sah. Dr. Charlie Wu dan Nyonya Surtiati telah memperoleh hak-hak di Negara Amerika Serikat sehingga dalam penerapannya di Indonesia maka permasalahan ini tidak serta merta dinyatakan tidak sah oleh Indonesia berdasarkan Ketertiban Umum karena bertentangan dengan UU Kewarganegaraan.
Hak-hak yang diperoleh biasanya dipakai untuk mengedapankan bahwa perubahan dari fakta-fakta, tidak akan mempengaruhi berlakunya kaidah-kaidah yang semula dipakai. Penerapan prinsip ini menurut pemikiran Dicey yang menentukan bahwa, “ Any Right which has been duly recognized, and in general, enforced by English court, and no right which has not been duly acquired in enforced or in general, recoqnized by English courts”. Hak yang telah diperoleh menurut ketentuan hukum Negara asing, diakui dan sepenuhnya dilaksanakan oleh hakim, sepanjang hak-hak ini tidak bertentangan dengan konsepsi public policy.
Namun dalam praktek dan jika dihubungkan dengan kasus Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati Wu, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa “hak-hak yang diperoleh” pada perkawinan camouyr yang mendapat legitimasi di Amerika Serikaty tersebut setidak-tidaknya tidak dijadikan dasar dari seluruh bangunan bagi sang Hakim dalam melaksanakan tugasnya memilih hukum yang harus dipergunakan, sebagai pengecualian atas apa yang menurut ketentuan-ketentuan HPI lex fori seyognya harus diperlakukan.
Kemudian dalam hal pengakuan anak tersebut sebenarnya hakim dalam mempertimbagkan analisa yuridis tidak menggunakan HATAH atau Hukum Antar Tata Hukum secara maksimal. Hal ini membuktikan bahwa hakm Indonesia terlebih-lebih mengenai kasus Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati Wu yang terkait dengan masalah hatah tidak mengenal dengan baik mengenai konstruksi berfikir hatah dengan tidak memasukan salah satupun pertimbangan dalam putusannya. Inilah sikap dari para hakim yang entah chauvimis ataukah keterbelakangan ilmu sehingga tanpa adirnya Keterangan Ahli dalam persidangan yang mengungkapakan dalil-dalil HATAH kemudian akan dikesampingkan.
Perpindahan Dr. Charlie Wu yang berkewarganegaraan Amerika Serikat, sebenarnya suatu permasalahan tersendiri, karena disini ada titik pertalian yang harus dicermati, karena Hakim pasti akan memilih akankah akan menggunakan setelsel hukum Amerika Serikat sesuai dengan kewarganegaraan Chalie Wu ataukah menggunakan Stelsel Hukum Indonesia sesuai dengan kewarganegaraan dari Istrinya, Ny. Surtiati Wu, serta sesuai dengan letak diajukannya gugatan perdata yang dilakukan oleh Dr. Charlie Wu yakni di Pengadilan Negri Jakarta Selatan. Hal inilah yang perlu juga kita tinjau dan seharusnya Hakim sebagai pihak pencari keadilan mempertimbangkan hal ini.
Van Vollenhoven mengunkapkan salah satu pertimbangan untuk mempergunakan hukum nasional dalam menentukan stelsel hukum yang berlaku apabila terjadi titik pertalian adalah dengan melihat adanya :
• Percampuran dengan sukubangsa Asli (vermenging met de autochtone bevolking)
• Persatuan dengan masyarakat hukum setempat (deelgennotschap van locale rechtgemeenschap)
Sedangkan perbedaan antara kedua syarat ini ialah bahwa “pencampuran dengan suku bangsa asli” berlangsung dalam lingkungan daerah yang lebih luas atau isebut region atau regional. Sedangkan “persatuan dengan masyarakat setempat” maka semula ini memperlihatkan suatu proses “pengolahan” yang tidak sedemikian mendalam., kemudian mengenai daerah yang lebih kecil namun sebaliknya dirasakanlebih dalam. Jika kembali dalam kasus maka akan terasa janggal bahwa Dr. Charlie Wu berserta anak Dr. Charlie Wu yang hanya melakukan pencampuran yang tidak sedalam persatuan namun hendak memakai stelsel hukum Indonesia.
NY. SURTIATI Wu Warga Negara Indonesia melakukan perkawinan campuran dengan Dr. CHARLIE WU alias WU CHIA HSIN yang telah dicatatkan di Kantor Pencatatan Sipil Jakarta. Perkawinan tersebut telah dikaruniai dua orang anak yang lahir di Jakarta dan berkewarganegaraan Amerika Serikat yang bernama Alice dan Denise. Sejak awal perkawinan ternyata hubungan keduanya sudah tidak harmonis. Ketidakharmonisan tersebut akhirnya berbuntut pada gugatan cerai yang diajukan Dr. Charlie Wu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam Gugatannya Dr. Charlie Wu memohon agar hak asuh atas kedua anaknya diberikan kepadanya. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan tersebut yang kemudian ditegaskan lewat keputusan banding. Ny. Surtiati Wu yang merasa tidak puas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun permohonan kasasinya ditolak.
ANALISA
Mengingat tahun kelahiran kedua anak tersebut adalah 1986 dan 1987, maka peraturan yang mengatur adalah undang-undang No. 62 tahun 1968. Dalam Pasal 1b tersebut menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayah seorang WNI dengan pengertian hubungan kekeluargaan itu diadakan sebelum orang itu berusia 18 tahun dan belum menikah di bawah usia 18 tahun. Dengan ketentuan pasal ini, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut secara ketat asas “ius sanguinis”. Oleh sebab itu, seperti dalam kasus ini dimana terjadi perkawinan campuran antara perempuan WNI (Ny Surtiati) dengan laki-laki WNA (Dr. Charlie Wu), maka anak yang dilahirkan akan mengikuti kewarganegaraan si ayah dimanapun ia dilahirkan. Mengenai ketentuan ini terdapat pengecualian yakni apabila negara si ayah tidak memberikan kewarganegaraan bagi si anak yang dilahirkan sehingga si anak akan berstatus “stateless” atau tanpa kewarganegaraan.
Dalam kasus ini, Dr. Charlie Wu merupakan warga negara Amerika yang menganut asas kewarganegaraan “ius soli”, dimana seseorang mendapat kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahirannya. Kedua anak yang merupakan hasil perkawinan campuran antara Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati dilahirkan di Indonesia, tepatnya Jakarta. Dengan demikian, terjadi pertemuan antara dua asas kewarganegaraan yang berbeda.
Berdasarkan pasal 1 b UU No. 62 tahun 1958, kedua anak tersebut mengikuti kewarganegaraan ayah mereka, yakni Amerika. Namun, berdasarkan asas “ius soli” yang dianut oleh Amerika Serikat, kewarganegaraan kedua anak tersebut mengikuti tempat kelahiran mereka, yaitu Indonesia. Hal ini mengakibatkan kedua anak tersebut menjadi “stateless”. Akan tetapi, UU no.62 tahun 1958 menganut asas anti “apatride” dimana terjadi seseorang tidak memiliki kewarganegaraan. Oleh sebab itu, dalam kasus seperti ini, kedua anak itu dapat menjadi WNI jika sang ibu mengajukan permohonan ke pengadilan.
Dalam kasus ini, kedua anak tersebut menjadi warga negara Amerika. Hal ini dimungkinkan dengan pengakuan Dr. Charlie Wu bahwa kedua anak tersebut adalah kedua anaknya sehingga harus mengikuti kewarganegaraannya yakni Amerika. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 17 UU No. 62 tahun 1958 dapat disimpulkan bahwa seorang anak yang diakui oleh orang asing sebagai anaknya dan memperoleh paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing, maka ia memperoleh kewarganegaraan dari negara tersebut. Karena Dr. Charlie Wu mengajukan permohonan paspor kepada Kedutaan Besar Amerika Serikat. Dengan keluarnya paspor Amerika atas nama Alice dan Dennis Aulia, maka ketentuan pasal 17 tersebut berlaku. Kedua anak itu mendapat pengakuan dari Dr. Charlie Wu yang seorang WNA sebagai anaknya.
Sedangkan mengenai putusan perceraian itu sendiri, mengingat uraian-uraian mengenai sikap dan tingkah laku dari Ny. Surtiati Wu yang buruk, seperti kasar, keras kepala, mau menang sendiri, dan suka berbohong yang akhirnya menyebabkan timbulnya perselisihan dan percekcokan di dalam rumah tangga. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan dari dilangsungkannya lembaga perkawinan yang tertera dalam undang-undang tentang perkawinan, yaitu perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga adalah hal yang wajar apabila Mahkamah Agung mengabulkan gugatan perceraian yang diajukan oleh Dr. Charlie Wu, yaitu menyatakan ikatan perkawinan antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu putus karena perceraian.
Hal ini juga didukung oleh pernyataan yang dikeluarkan oleh kedua anak dari Penggugat dan Tergugat bahwa mereka setuju apabila kedua orangtua mereka bercerai karena jika perkawinan tersebut dilanjutkan, hanya akan menambah penderitaan batin mereka saja dan lagi mereka tidak keberatan apabila ditaruh di bawah perwalian dari Penggugat (Dr. Charlie Wu).
Apabila menilik dari uraian yang diajukan oleh kuasa hukum dari Penggugat bahwa :
1. Ny. Surtiati Wu telah bersikap dan bertingkah laku buruk sehingga menimbulkan banyak percekcokan dan perselisihan dalam rumah tangga.
2. Percekcokan dan perselisihan tersebut menimbulkan pernderitaan batin bagi kedua anak mereka, yaitu Alice dan Denise Aulia.
3. Kedua anak mereka mendukung perceraian antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu.
4. Kedua anak mereka tidak keberatan untuk ditaruh di bawah perwalian Dr. Charlie Wu.
5. Dr. Charlie Wu sudah menyatakan kesanggupannya untuk terus merawat dan mendidik Alice dan Denise Aulia, menjaga perkembangan kehidupan jasmani dan rohani mereka serta menanggung biaya pendidikan mereka sampai perguruan tinggi.
Maka, putusan Mahkamah Agung untuk menyatakan putusnya perkawinan antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu serta menyerahkan perwalian kedua anak mereka yang berkewarganegaraan Amerika adalah tepat.
Jika dianalisis terhadap perkawinan campur dari Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati Wu, maka pada bagian latar belakang permasalahan bentuk perkawinan ini terdapat kontradiksi yang kuat antara doktrin ketertiban umum dengan doktrin hak-hak yang diperoleh. Dr Charlie Wu menikah dengan Ny. Surtiati di Kansas, Amerika Serikat termasuk perkawinan yang sama sekali sah. Dr. Charlie Wu dan Nyonya Surtiati telah memperoleh hak-hak di Negara Amerika Serikat sehingga dalam penerapannya di Indonesia maka permasalahan ini tidak serta merta dinyatakan tidak sah oleh Indonesia berdasarkan Ketertiban Umum karena bertentangan dengan UU Kewarganegaraan.
Hak-hak yang diperoleh biasanya dipakai untuk mengedapankan bahwa perubahan dari fakta-fakta, tidak akan mempengaruhi berlakunya kaidah-kaidah yang semula dipakai. Penerapan prinsip ini menurut pemikiran Dicey yang menentukan bahwa, “ Any Right which has been duly recognized, and in general, enforced by English court, and no right which has not been duly acquired in enforced or in general, recoqnized by English courts”. Hak yang telah diperoleh menurut ketentuan hukum Negara asing, diakui dan sepenuhnya dilaksanakan oleh hakim, sepanjang hak-hak ini tidak bertentangan dengan konsepsi public policy.
Namun dalam praktek dan jika dihubungkan dengan kasus Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati Wu, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa “hak-hak yang diperoleh” pada perkawinan camouyr yang mendapat legitimasi di Amerika Serikaty tersebut setidak-tidaknya tidak dijadikan dasar dari seluruh bangunan bagi sang Hakim dalam melaksanakan tugasnya memilih hukum yang harus dipergunakan, sebagai pengecualian atas apa yang menurut ketentuan-ketentuan HPI lex fori seyognya harus diperlakukan.
Kemudian dalam hal pengakuan anak tersebut sebenarnya hakim dalam mempertimbagkan analisa yuridis tidak menggunakan HATAH atau Hukum Antar Tata Hukum secara maksimal. Hal ini membuktikan bahwa hakm Indonesia terlebih-lebih mengenai kasus Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati Wu yang terkait dengan masalah hatah tidak mengenal dengan baik mengenai konstruksi berfikir hatah dengan tidak memasukan salah satupun pertimbangan dalam putusannya. Inilah sikap dari para hakim yang entah chauvimis ataukah keterbelakangan ilmu sehingga tanpa adirnya Keterangan Ahli dalam persidangan yang mengungkapakan dalil-dalil HATAH kemudian akan dikesampingkan.
Perpindahan Dr. Charlie Wu yang berkewarganegaraan Amerika Serikat, sebenarnya suatu permasalahan tersendiri, karena disini ada titik pertalian yang harus dicermati, karena Hakim pasti akan memilih akankah akan menggunakan setelsel hukum Amerika Serikat sesuai dengan kewarganegaraan Chalie Wu ataukah menggunakan Stelsel Hukum Indonesia sesuai dengan kewarganegaraan dari Istrinya, Ny. Surtiati Wu, serta sesuai dengan letak diajukannya gugatan perdata yang dilakukan oleh Dr. Charlie Wu yakni di Pengadilan Negri Jakarta Selatan. Hal inilah yang perlu juga kita tinjau dan seharusnya Hakim sebagai pihak pencari keadilan mempertimbangkan hal ini.
Van Vollenhoven mengunkapkan salah satu pertimbangan untuk mempergunakan hukum nasional dalam menentukan stelsel hukum yang berlaku apabila terjadi titik pertalian adalah dengan melihat adanya :
• Percampuran dengan sukubangsa Asli (vermenging met de autochtone bevolking)
• Persatuan dengan masyarakat hukum setempat (deelgennotschap van locale rechtgemeenschap)
Sedangkan perbedaan antara kedua syarat ini ialah bahwa “pencampuran dengan suku bangsa asli” berlangsung dalam lingkungan daerah yang lebih luas atau isebut region atau regional. Sedangkan “persatuan dengan masyarakat setempat” maka semula ini memperlihatkan suatu proses “pengolahan” yang tidak sedemikian mendalam., kemudian mengenai daerah yang lebih kecil namun sebaliknya dirasakanlebih dalam. Jika kembali dalam kasus maka akan terasa janggal bahwa Dr. Charlie Wu berserta anak Dr. Charlie Wu yang hanya melakukan pencampuran yang tidak sedalam persatuan namun hendak memakai stelsel hukum Indonesia.
Atas
undangan dan niat positif PSSI, Irfan Bachdim dan Sergio van Dijk datang ke
Indonesia. Dari hasil pertandingan eksebisi di atas lapangan, baik pelatih
maupun penonton sama-sama puas. Dukungan agar keduanya membela Merah-Putih kian
deras. PSSI menyambut positif. Apa lagi yang dibutuhkan? Tepat, status kewarganegaraan
kedua pemain!
Irfan
memiliki darah Indonesia dari sang ayah yang menikahi seorang wanita Belanda,
sedangkan kakek-nenek Sergio adalah orang Indonesia asli sebelum mengungsi ke
Negeri Kincir Angin itu 1950-an silam. Keduanya masih memiliki sanak keluarga
di Indonesia dan acap mengunjungi nusantara.
Berdasarkan
undang-undang tentang kewarganegaraan terbaru, UU no.12/2006, dikenal status
kewarganegaraan ganda dalam tataran hukum Indonesia. Namun, status tersebut
hanya berlaku pada anak hasil pernikahan antara warga negara Indonesia (WNI)
dengan warga negara asing (WNA). Hingga berusia 18 tahun atau menikah, anak
tersebut harus memilih kewarganegaraannya.
Jika
memilih menjadi WNI, dia harus menyatakan dengan tertulis kepada
pemerintah/pejabat yang membidangi/Departemen Kehakiman. Pernyataan tersebut
harus disampaikan dalam tenggang waktu tiga tahun setelah ulang tahun ke-18.
Berdasarkan
prinsip ini, Irfan harus menentukan sikap. Lahir tanggal 11 Agustus 1988, Irfan
masih punya hak untuk menjadi WNI hingga 11 Agustus 2009. Jika tidak ada
pernyataan hingga tenggat tersebut, hak untuk menjadi WNI otomatis hilang.
Irfan
saat ini terdaftar sebagai pemain FC Utrecht dengan menggunakan paspor Belanda.
Untuk kasus Sergio, sedikit lebih rumit karena UU tersebut tidak menyebutkan secara spesifik status kewarganegaraan dari kakek/nenek, melainkan langsung dari orangtua. Jadi, karena Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda, Sergio harus menanggalkan kewarganegaraan Belanda untuk menjadi WNI.
Untuk kasus Sergio, sedikit lebih rumit karena UU tersebut tidak menyebutkan secara spesifik status kewarganegaraan dari kakek/nenek, melainkan langsung dari orangtua. Jadi, karena Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda, Sergio harus menanggalkan kewarganegaraan Belanda untuk menjadi WNI.
Proses
yang dijalani Sergio adalah proses naturalisasi. Untuk mengajukan
kewarganegaraan melalui proses ini, seseorang antara lain disyaratkan sudah
berusia 21 tahun, lahir di wilayah Republik Indonesia atau setidaknya sudah
tinggal selama lima tahun berturut-turut, dan cukup datat berbahasa Indonesia.
Proses
tersebut dapat berjalan "instan" jika Pemerintah atau terlebih dahulu
PSSI melakukan inisiatif dengan alasan kepentingan negara atau karena prestasi
yang luar biasa, dalam hal ini di bidang olahraga, yaitu sepakbola. Status WNI
akan diberikan oleh Presiden Republik Indonesia setelah memperoleh pertimbangan
dari DPR RI.
Kasus
naturalisasi di dunia olahraga pernah terjadi ketika pebasket Mario Wuysang dan
pebulutangkis senior Ferry Sonneville memilih membela bendera Indonesia di
pentas internasional. Namun, berbeda dengan Sergio, keduanya relatif memiliki
"kemudahan" karena lahir di bumi Indonesia. Mario lahir di Sidoarjo,
sedangkan opa Ferry terlahir di Jakarta.
Harus diingat, semua proses tersebut baru akan dilalui jika kedua pemain yang diharapkan segenap penggila sepakbola negeri ini memantapkan pilihannya. Irfan masih ragu-ragu, karena usianya masih muda dan pintu ke timnas Belanda relatif masih terbuka. Sedangkan Sergio tampak lebih yakin, meski dalam wawancara eksklusif GOAL.com, striker berusia 26 tahun ini menandaskan harus memutuskannya dengan masak-masak karena harus memikirkan kepentingan keluarganya -- antara lain pacar yang segera melahirkan anaknya.
Harus diingat, semua proses tersebut baru akan dilalui jika kedua pemain yang diharapkan segenap penggila sepakbola negeri ini memantapkan pilihannya. Irfan masih ragu-ragu, karena usianya masih muda dan pintu ke timnas Belanda relatif masih terbuka. Sedangkan Sergio tampak lebih yakin, meski dalam wawancara eksklusif GOAL.com, striker berusia 26 tahun ini menandaskan harus memutuskannya dengan masak-masak karena harus memikirkan kepentingan keluarganya -- antara lain pacar yang segera melahirkan anaknya.
Berdasarkan prinsip ius sanguinis yang dikenal dalam hukum ketatanegaraan internasional, seseorang yang dilahirkan dari keturunan warga negara tertentu berhak atas kewarganegaraan negara tersebut. Vietnam memanfaatkan prinsip ini dengan memperkenalkan status kewarganegaraan ganda untuk menyatukan sanak keluarga warganya yang tercerai-berai akibat perang.
Belanda, misalnya, juga mengenal status kewarganegaraan ganda. Status kewarganegaraan ganda tidak menghalangi hak politik warga, buktinya dua menteri muda dalam kabinet pemerintahan Belanda memegang paspor ganda. Selain mengantungi paspor Belanda, mereka juga berstatus sebagai warga Maroko dan Turki. Di Belanda, banyak masyarakat imigran asal dua negara berpenduduk mayoritas muslim itu. Bahkan seperti yang dikutip dari Radio Netherlands Worldwide, Ratu Beatrix sendiri memiliki dua paspor -- Belanda dan Inggris!
Mari berprasangka baik. Irfan dan Sergio datang bermain ke Indonesia dan terkesan dengan sepakbola tanah air. Berkat jalur komunikasi yang jernih dan keterbukaan hati, keduanya menyatakan siap membela. Sekarang bagaimana PSSI mewujudkan mimpi itu. Paling tidak untuk lebih dulu menghadirkan mereka ke depan para pendukung setia Merah-Putih di negeri ini!
0 komentar:
Posting Komentar